TIGA CORAK KEHIDUPAN
(Tilakkhana)
"Sabbe sankhara anicca`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."
Segala
sesuatu yang berkondisi adalah anicca. Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan
penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.(Dhammapada 277)
"Sabbe sankhara dukkha`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."Segala
sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan
penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.(Dhammapada 278)
"Sabbe dhamma anatta`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."Segala
dhamma (kebenaran) adalah anatta. Apabila dengan kebijaksanaan orang
dapat melihat ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah
Jalan yang membawa pada kesucian.(Dhammapada 279)
Tilakkhana
atau tiga corak, ciri, karakteristik yaitu anicca, dukkha dan anatta,
merupakan tiga corak, ciri, karakteristik yang ada di setiap segala
sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi)
yang ada di alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan
salah satu bentuk dari Hukum
Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja.
Anicca
Anicca
berasal dari kata ”an” yang merupakan bentuk negatif atau sering
diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan ”nicca” yang berarti tetap,
selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata ”an-nicca” berarti tidak tetap,
tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa
Sanskerta disebut juga sebagai anitya.
Sabbe sankhara anicca
berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur,
merupakan sesuatu yang mengalami perubahan, tidak kekal.
Semua fenomena yang ada di dalam alam semesta ini selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu:
Upadana (timbul), kemudian
Thiti (berlangsung), dan kemudian
Bhanga (berakhir/lenyap).
Mengapa
segala fenomena mengalami perubahan atau tidak kekal? Hal ini karena
sudah menjadi sifat alami dari segala sesuatu yang terbentuk dari
perpaduan unsur akan mengalami perubahan, ketidakkekalan.
Dukkha
Dukkha berasal dari
kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul,
ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk
dipikul. Jadi kata ”duh-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk
dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
penderitaan, ketidakpuasan, beban.
Sabbe sankhara dukkha
berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur,
merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban
berat atau penderitaan.
Mengapa segala fenomena tidak memuaskan
dan menimbulkan beban berat atau penderitaan? Hal ini dikarenakan segala
fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita
tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami
perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan,
ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya menimbulkan beban berat atau
penderitaan.
Anatta
Anatta
berasal dari kata ”an” yang merupakan bentuk negatif atau sering
diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan ”atta” berarti berarti diri
sejati atau inti/`roh`. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai
anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti bukan diri sejati atau tanpa
inti/`roh`.
Sabbe dhamma anatta berarti segala
dhamma (kebenaran) yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan
juga yang tidak berkondisi, tidak terbentuk dari perpaduan unsur
merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti/`roh` dan bukan diri yang
sejati.
Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran
anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya
orang/person (puggala). Anggapan ini keliru. Guru Buddha tidak
mengajarkan hal ini. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan
diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person
(puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri
atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan
unsur-unsur yang membentuk, yang membuatnya ada atau eksis yang suatu
saat akan mengalami perubahan. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri
seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari
perpaduan dari unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri
seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi
dari diri seseorang tidak lagi ada atau eksis. Inilah mengapa dikatakan
tidak memiliki inti atau bukan diri sejati.
Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati?
Di dalam
Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Guru Buddha menjelaskan bahwa
Rupa (jasmani
), Vendana (perasaan),
Sanna (pencerapan),
Sankhara (pikiran)
dan Vinnana (kesadaran)
disebut
sebagai Panca Khanda (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya
bukanlah diri sejati. Jika Khanda itu merupakan diri sejati, maka tidak
akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan
kandha-nya akan terpenuhi,
”Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu.” Tetapi karena khanda tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang,
” Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa kandha bukanlah diri sejati.
Selain
ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2
ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:
- Attavada,
yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti
atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa
atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga
disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang
Buddha).
- Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran
yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana
ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun
lagi, tidak meengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai
paham Nihilisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Beberapa
contoh nyata mengenai ajaran Anatta. Ketika kita melihat sebuah sofa
maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai
sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem,
tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan,
kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong
kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan
bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain
bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Kita tidak akan melihat
lagi sofa tadi.
Contoh lain tentang ajaran Anatta, ketika kita
membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam,
mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain Tetapi setelah
menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan
mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini
airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan
itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah
berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang
tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran
di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin
lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.
Pemahaman
akan ajaran anatta dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran
mengenai Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Disusun oleh: Bhagavant.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar